Selasa, 10 Februari 2015

Tagged under: ,

Thibbun Nabawi Bukan Alternatif (Bagian 2)



Bismillaah

31 Januari 2015


Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
--------------------------------------------
Contoh Pengobatan Nabawi
    
Banyak sekali cara pengobatan nabawi. Kami hanya menyebutkan beberapa di antaranya, karena keterbatasan halaman yang ada:

Pengobatan dengan madu
Allah berfirman tentang madu yang keluar dari perut lebah:
“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (An-Nahl: 69)

Madu dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit dengan izin Allah سبحانه و تعالى
Di antaranya untuk mengobati sakit perut, seperti ditunjukkan dalam hadits berikut ini:
“Ada seseorang menghadap Nabi صلى الله عليه وسلم, ia berkata: ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya.’
{Dalam lafadz lain,  banyak yang keluar dari isi perutnya yakni mencret/ diare. (Fathul Bari, 10/208)}
Nabi صلى الله عليه وسلم  berkata:
 ‘Minumkan ia madu.’
Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya, Nabi  صلى الله عليه و سلم berkata:  ‘Minumkan ia madu.’
Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga, Nabi  صلى الله عليه و سلم tetap berkata: ‘Minumkan ia madu.’
Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan:
‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’
{ Sebagaimana dalam riwayat Muslim, orang itu berkata:
“Aku telah meminumkannya madu namun tidak menambah bagi dia kecuali mencret.”}
Nabi  صلى الله عليه و سلم bersabda:
‘Allah Mahabenar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’
{ Maknanya, perutnya tidak pantas untuk menerima obat bahkan menolaknya. }

Di sini juga ada isyarat bahwa madu itu adalah obat yang bermanfaat. Adapun jika penyakit tetap ada dan tidak hilang setelah minum madu, bukan karena jeleknya madu, namun karena banyaknya unsur yang rusak dalam tubuh.
Oleh karena itu Nabi ,صلى الله عليه وسلم  menyuruhnya untuk mengulang minum madu. (Fathul Bari, 10/209, 210)}
Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.”
(HR. Al-Bukhari no. 5684 dan Muslim no. 5731)

Pengobatan dengan habbah sauda` (jintan hitam)
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Sesungguhnya habbah sauda` ini merupakan obat dari semua penyakit, kecuali dari penyakit as-samu”.
Aku (yakni`Aisyah  رضي الله عنها) bertanya: “Apakah as-samu itu?
Beliau menjawab: “Kematian.”
(HR. Al-Bukhari no. 5687 dan Muslim no. 5727)

Pengobatan dengan susu dan kencing unta.
Anas  رضي الله عنه menceritakan:
“Ada sekelompok orang ‘Urainah dari penduduk Hijaz menderita sakit (karena kelaparan atau keletihan).
Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah tempat kepada kami dan berilah kami makan.’
Ketika telah sehat, mereka berkata: ‘Sesungguhnya udara kota Madinah tidak cocok bagi kami (hingga kami menderita sakit, –pent.).’
Rasulullah  صلى الله عليه وسلم pun menempatkan mereka di Harrah, di dekat tempat pemeliharaan unta-unta beliau (yang berjumlah 3-30 ekor).
Beliau berkata: ‘Minumlah dari susu dan kencing unta-unta itu.
{ Kencing unta bermanfaat khususnya untuk penyakit gangguan perut/pencernaan, sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat Ibnul Mundzir dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’. (Fathul Bari, 10/177)}
Tatkala mereka telah sehat, mereka justru membunuh penggembala unta-unta Nabi صلى الله عليه وسلم
(setelah sebelumnya mereka mencungkil matanya) dan menggiring unta-unta tersebut (dalam keadaan mereka juga murtad dari Islam, -pent.)
Nabi  صلى الله عليه وسلم pun mengirim utusan untuk mengejar mereka, hingga mereka tertangkap dan diberi hukuman dengan dipotong tangan dan kaki-kaki mereka serta dicungkil mata mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 5685, 5686 dan Muslim no. 4329)


Pengobatan dengan berbekam (hijamah)
{ Dengan cara mengeluarkan darah kotor (darah penyakit) pada bagian tubuh tertentu.}
Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه mengabarkan:
“Sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم  berbekam pada bagian kepalanya dalam keadaan beliau sebagai muhrim (orang yang berihram) karena sakit pada sebagian kepalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5701)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga bersabda:
Obat/kesembuhan itu (antara lain) dalam tiga (cara pengobatan): minum madu, berbekam dan dengan kay, namun aku melarang umatku dari kay.”
{Kay adalah pengobatan dengan cara menempelkan sambil menekan (mencobloskan) besi panas yang membara pada bagian tubuh yang sakit.}
(HR. Al-Bukhari no. 5680)


Ruqyah,
     Di antara cara pengobatan nabawi yang bermanfaat dengan izin Allah سبحانه و تعالى adalah ruqyah yang syar’i, yang ditetapkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.
Ketahuilah, Allahسبحانه و تعالى  menjadikan Al-Qur`anul Karim sebagai syifa` (obat/ penyembuh) sebagaimana firman-Nya:

“Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur`an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Al-Qur`an) dalam bahasa asing, sedangkan (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an apa yang merupakan syifa` dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)

Huruf  dalam ayat di atas untuk menerangkan jenis, bukan menunjukkan tab‘idh (makna sebagian).
Karena Al-Qur`an seluruhnya adalah syifa` dan rahmat bagi orang-orang beriman, sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebelumnya (yaitu surat Al-Fushshilat: 44).”
(Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 7)
 
   Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata ketika memberikan komentar terhadap hadits yang menyebutkan tentang wanita yang menderita ayan (epilepsi):
“Dalam hadits ini ada dalil bahwa pengobatan seluruh penyakit dengan doa dan bersandar kepada Allah
سبحانه و تعالى adalah lebih manjur serta lebih bermanfaat daripada dengan obat-obatan. Pengaruh dan khasiat-nya bagi tubuh pun lebih besar daripada pengaruh obat-obatan jasmani. Namun kemanjurannya hanyalah didapatkan dengan dua perkara:
👉Pertama:
Dari sisi orang yang menderita sakit, yaitu lurus niat/tujuannya.
👉Kedua:
Dari sisi orang yang mengobati, yaitu kekuatan bimbingan/arahan dan kekuatan hatinya dengan takwa dan tawakkal.
Wallahu a’lam.”
(Fathul Bari 10/115)

   Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri tentang ruqyah dengan surat Al-Fatihah yang dilakukan salah seorang shahabat, benar-benar terlihat pengaruh obat tersebut pada penyakit yang diderita sang pemimpin kampung. Sehingga obat itu mampu menghilangkan penyakit, seakan-akan penyakit tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Cara seperti ini merupakan pengobatan yang paling mudah dan ringan. Seandainya seorang hamba melakukan pengobatan ruqyah dengan membaca Al-Fatihah secara bagus, niscaya ia akan melihat pengaruh yang mengagumkan dalam kesembuhan.
 Al-Imam Ibnu Qayyim  berkata:
Aku pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu dalam keadaan tertimpa berbagai penyakit. Dan aku tidak menemu-kan tabib maupun obat. Aku pun mengobati diriku sendiri dengan Al-Fatihah yang dibaca berulang-ulang pada segelas air Zam-zam kemudian meminumnya, hingga aku melihat dalam pengobatan itu ada pengaruh yang mengagumkan. Lalu aku menceritakan hal itu kepada orang yang mengeluh sakit. Mereka pun melakukan pengobatan dengan Al-Fatihah, ternyata kebanyakan mereka sembuh dengan cepat.”

Subhanallah! Demikian penjelasan dan persaksian Al-Imam Ibnu Qayyim terhadap ruqyah serta pengalaman pribadinya berobat dengan membaca Al-Fatihah.
(Ad-Da`u wad Dawa`  hal. 8, Ath-Thibbun Nabawi hal. 139)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan   berkata: “Sungguh Allah سبحانه و تعالى telah menjadikan Al-Qur`an sebagai syifa` bagi penyakit-penyakit hissi (yang dapat dirasakan indera) dan maknawi berupa penyakit-penyakit hati dan badan. Namun dengan syarat, peruqyah dan yang diruqyah harus mengikhlaskan niat.  Dan masing-masing meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari sisi Allah سبحانه و تعالى. Dan ruqyah dengan Kalamullah merupakan salah satu di antara sebab-sebab yang bermanfaat.”
Beliau juga berkata: “Pengobatan dengan ruqyah Al-Qur`an merupakan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم  dan amalan salaf.

    Mereka dahulu mengobati orang yang terkena ‘ain, kesurupan jin, sihir dan seluruh penyakit dengan ruqyah. Mereka meyakini bahwa ruqyah termasuk sarana yang mubah* {Dan kebolehan di sini adalah bagi orang yang tidak meminta agar dirinya diruqyah, juga karena hukum permasalahan ini ada pembahasan sendiri.}, lagi bermanfaat.Sementara yang menyembuhkan hanyalah Allah سبحانه و تعالى  saja.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 1, jawaban soal  no. 77)

    Thibbun Nabawi Memberi Pengaruh bagi Kesembuhan dengan Izin Allah سبحانه و تعالى . Mungkin ada di antara kita yang pernah mencoba melakukan pengobatan dengan thibbun nabawi dengan minum madu misalnya
* {Dalam hadits yang menyebutkan Nabi menganjurkan orang yang sakit perut untuk minum madu.  Pada awalnya, madu yang diminumnya tidak menghentikan penyakit yang diderita karena obat harus memiliki kadar yang seimbang dengan penyakit. Bila obatnya kurang maka tidak menghilangkan penyakit secara keseluruhan, namun bila dosisnya berlebih malah melemahkan kekuatan dan menimbulkan kemudharatan lainnya.  (Fathul Bari, 10/210)} atau habbah sauda`. Atau dengan ruqyah membaca ayat-ayat Al-Qur`an dan doa-doa yang diajarkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم namun tidak merasakan pengaruh apa-apa, penyakitnya tak kunjung hilang. Ujung-ujungnya, kita meninggalkan thibbun nabawi karena kurang percaya akan khasiatnya, lalu beralih ke obat-obatan kimiawi.

Mengapa demikian❓
Mengapa kita tidak mendapatkan khasiat sebagaimana yang didapatkan Al-Imam Ibnu Qayyim ketika meruqyah dirinya dengan Al-Fatihah?
Atau seperti yang dilakukan oleh seorang shahabat ketika meruqyah kepala suku yang tersengat binatang berbisa di mana usai pengobatan si kepala suku (pemimpin kampung) sembuh seakan-akan tidak pernah merasakan sakit❓
👉Di antara jawabannya, sebagaimana ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar yang telah lewat, bahwasanya manjurnya ruqyah (pengobatan dengan membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur`an) hanyalah diperoleh bila terpenuhi dua hal:
✅Pertama: Dari sisi si penderita, harus lurus dan benar niat/ tujuannya.
✅Kedua: Dari sisi yang mengobati, harus memiliki kekuatan dalam memberi bimbingan/arahan dan kekuatan hati dengan takwa dan tawakkal.
Al-Imam Ibnu Qayyim  berkata:
“Ada hal yang semestinya dipahami, yakni zikir, ayat, dan doa-doa yang dibacakan sebagai obat dan yang dibaca ketika meruqyah, memang merupakan obat yang bermanfaat. Namun dibutuhkan respon pada tempat, kuatnya semangat dan pengaruh orang yang meruqyah. Bila obat itu tidak memberi pengaruh, hal itu dikarenakan lemahnya pengaruh peruqyah, tidak adanya respon pada tempat terhadap orang yang diruqyah, atau adanya penghalang yang kuat yang mencegah khasiat obat tersebut, sebagaimana hal itu terdapat pada obat dan penyakit hissi(yg nampak)Tidak adanya pengaruh obat itu bisa jadi karena tidak adanya penerimaan thabi’ah terhadap obat tersebut. Terkadang pula karena adanya penghalang yang kuat yang mencegah bekerjanya obat tersebut. Karena bila thabi’ah mengambil obat dengan penerimaan yang sempurna, niscaya manfaat yang diperoleh tubuh dari obat itu sesuai dengan penerimaan tersebut. Demikian pula hati. Bila hati mengambil ruqyah dan doa-doa perlindungan dengan penerimaan yang sempurna, bersamaan dengan orang yang meruqyah memiliki semangat yang berpengaruh, niscaya ruqyah tersebut lebih berpengaruh dalam menghilangkan penyakit.”
(Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 8)

Al-Hafizh Ibnu Hajar  menyatakan: "Terkadang sebagian orang yang  menggunakan thibbun nabawi tidak mendapatkan kesembuhan. Yang demikian itu karena adanya penghalang pada diri orang yang menggunakan pengobatan tersebut. Penghalang itu berupa lemahnya keyakinan akan kesembuhan yang diperoleh dengan obat tersebut, dan lemahnya penerimaan terhadap obat tersebut. Contoh yang paling tampak/ jelas dalam hal ini adalah Al-Qur`an, yang merupakan obat penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada. Meskipun demikian, ternyata sebagian manusia tidak mendapatkan kesembuhan atas penyakit yang ada dalam dadanya. (Hal ini tentunya terjadi, -pent.) karena kurangnya keyakinan dan penerimaannya. Bahkan bagi orang munafik, tidak menambah kecuali kotoran di atas kotoran yang telah ada pada dirinya, dan menambah sakit di atas sakit yang ada. Dengan demikian thibbun nabawi tidak cocok/ pantas kecuali bagi tubuh-tubuh yang baik, sebagaimana kesembuhan dengan Al-Qur`an tidak cocok kecuali bagi hati-hati yang baik. Tentunya perlu diketahui bahwa kesembuhan itu merupakan perkara yang ditakdirkan Allah سبحانه و تعالى . Dia Yang Maha Kuasa sebagai Dzat yang memberikan kesembuhan  terkadang menunda pemberian kesem-buhan tersebut, walaupun si hamba telah menempuh sebab-sebab kesembuhan. Dia menundanya hingga waktu yang ditetapkan hilangnya penyakit tersebut dengan hikmah-Nya. Yang jelas kesembuhan dapat diperoleh dengan obat-obatan jika dikonsumsi secara tepat, sebagaimana  rasa lapar dapat hilang dengan makan dan rasa haus dapat hilang dengan minum. Jadi secara umum obat itu akan bermanfaat. Namun terkadang kemanfaatan itu luput diperoleh karena adanya penghalang." (Fathul Bari, 10/210)
والله اعلم بالصواب

 http://asysyariah.com/thibbun-nabawi-bukan-alternatif/

🍯Grup BIKUM🍯

0 komentar :

Posting Komentar